Merpati Putih Adalah Perguruan
Pencak Silat Beladiri Tangan Kosong yang bernaung di bawah Ikatan Pencak Silat
Seluruh Indonesia (IPSI). Organisasi berdiri sejak 2 April 1963 dengan pusat
organisasi di Jakarta, sedangkan pusat keilmuan di Jogjakarta.Tujuannya adalah
melestarikan Pencak Silat Asli hasil budidaya peninggalan nenek moyang bangsa
Indonesia dan turut membina watak mental pribadi anggota Merpati Putih berbudi
pekerti luhur serta mengembangkan ilmu Merpati Putih demi kepentingan bangsa
dan Negara Indonesia.
Seorang
Anggota Merpati Putih harus memegang Tri Prasetya (Taat dan Percaya Kepada
Tuhan Yang Maha Esa,Mengabdi dan berbakti pada Nusa,Bangsa dan Negara Republik
Indonesia,Setia dan Taat Kepada Perguruan) dan mengamalkan amanah Sang Guru
Saring Hadi Poernomo (Memiliki Rasa Jujur dan Welas Asih,Percaya pada diri
sendiri,Keserasian dan Keselarasan dalam penampilan sehari-hari, dan Menghayati
dan mengamalkan sikap itu agar menimbulkan Ketakwaan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa).
Merpati
Putih sendiri merupakan singkatan dari Falsafah “Mersudi Patitising Tindak
Pusakaning Titising Hening” yang artinya kurang lebih “Mencari Sampai
Mendapatkan Tindakan yang Benar dengan Ketenangan”
Selain
mata, manusia rupanya diberi “indera penglihatan kedua”. “Mata kedua” itu bisa
berupa ujung hidung atau ujung telinga, sentuhan tangan, ujung jari, atau ujung
siku. Dengan latihan tertentu, seorang tunanetra bahkan mampu “melihat” seperti
halnya orang biasa.
Suatu
hari di tahun 1945 seorang pria bernama Kuda Bux menunggangi sepeda, lalu
mengayuhnya, menembus lalu lintas New York. Ia menerobos Times Square yang
ramai, dan akhirnya tiba di tempat tujuan, tanpa celaka sedikit pun. Tampaknya,
itu peristiwa biasa. Namun ternyata ia melakukannya dengan mata tertutup rapat.
Bagaimana ia bisa “melihat” arah tujuannya? Pertanyaan yang tetap belum
ditemukan jawabannya itulah yang membuat Bux terkenal pada 1930 – 1940-an.
Jauh
sebelum itu ilmuwan Irlandia Robert Boyle (1627 – 1691) menemukan kasus tentang
seorang pria yang dapat mengenali warna lewat sentuhan tangannya. Kemudian pada
tahun 1893 beberapa dokter di Brooklyn, New York, menceritakan bagaimana Mollie
Fancher yang tunanetra membaca buku cetak standar – bukan berhuruf braille –
dengan ujung jarinya.
Pada
saat bersamaan di Italia ahli saraf dr. Cesare Lombroso mengamati gadis
tunatera berusia 14 tahun yang dapat “melihat” dengan telinga kiri dan ujung
hidung. Ketika Lombroso mencoba menusuk hidungnya dengan sebatang pinsil, gadis
itu tersentak menyingkir dan menangis, “Kamu ingin membuatku buta, ya?”
ORANG ABNORMAL
Kasus-kasus ajaib itu menantang ilmuwan Prancis, Jules Romains. Setelah bertahun-tahun meneliti, pada 1920 Romains menerbitkan risalah panjang berjudul Eyeless Sight. Ia mencatat, beberapa subjek “melihat” tanpa menjalin kontak dengan objek sasaran, tapi ada juga yang menggunakan alat berupa ujung jari, pipi, bahkan perut. Meski karyanya itu sedikit sekali ditanggapi oleh kalangan kedokteran, kasus yang lalu ia sebut kemampuan pandang paroptik atau setingkat dengan mata itu beberapa kali menjadi berita utama.
Kasus-kasus ajaib itu menantang ilmuwan Prancis, Jules Romains. Setelah bertahun-tahun meneliti, pada 1920 Romains menerbitkan risalah panjang berjudul Eyeless Sight. Ia mencatat, beberapa subjek “melihat” tanpa menjalin kontak dengan objek sasaran, tapi ada juga yang menggunakan alat berupa ujung jari, pipi, bahkan perut. Meski karyanya itu sedikit sekali ditanggapi oleh kalangan kedokteran, kasus yang lalu ia sebut kemampuan pandang paroptik atau setingkat dengan mata itu beberapa kali menjadi berita utama.
Perhatian
kalangan ilmiah terhadap fenomena itu baru muncul setelah tahun 1963, ketika
peneliti kesehatan Rusia melaporkan kasus Rosa Kuleshova. Dalam beberapa
penelitian yang diawasi ketat, Rosa yang benar-benar tidak dapat melihat dapat
membaca koran dan catatan lagu dengan ujung jari dan siku tangannya.
Penelitian
terhadap Rosa membangkitkan minat dr. Richard P. Youtz, psikolog di Columbia
University, New York City. Saking penasaran, ia melakukan sendiri beberapa tes.
Kesimpulannya, Rosa dan yang lainnya adalah orang yang sensitif abnormal
terhadap jumlah panas yang diserap oleh warna yang berbeda.
Membaca
tanpa mata bisa dilakukan karena cetakan hitam menyerap lebih banyak panas dan
terasa lebih hangat dibandingkan sekelilingnya yang putih, yang lebih efisien
dalam memantulkan panas. Pertimbangan itu masuk akal untuk orang yang dapat
“melihat” dengan ujung jari atau siku. Tetapi bagaimana dengan fenomena Kuda
Bux yang dapat melihat benda tanpa menyentuhnya?
Bagi
Budi Santoso Hadi Poernomo, pewaris dan guru
besar PPS Betako Merpati Putih, fenomena seperti itu mudah dijelaskan
menggunakan “ilmu getaran”. Ilmu yang mulai dikembangkan sejak 1970-an – 1987
ini sebenarnya metode pembinaan latihan pernapasan. Menurut generasi ke-11 dari
Pangeran Prabu Amangkurat dari Kerajaan Mataram pada abad XVII di Kartosuro,
Jawa Tengah, yang menciptakan betako Merpati Putih ini, dengan ilmu getaran
seseorang akan mampu menangkap berbagai macam getaran dari benda apa pun,
bahkan yang tidak tertangkap oleh kelima indera fisik. Misalnya, getaran otak
atau makhluk halus.
Manfaat
ilmu itu ialah untuk mendapatkan tenaga yang lebih kuat, terutama saat melaksanakan
tugas yang dianggap tidak mungkin dilakukan dalam keadaan biasa. “Misalnya,
dengan mata tertutup dan konsentrasi orang mampu menebak benda yang
tersembunyi, atau menembak sasaran dengan tepat dari jarak jauh,” ujar Budi
yang bersama kakaknya, Poerwoto Hadi Poernomo, mendirikan PPS Betako Merpati
Putih pada 2 April 1963 di Yogyakarta.
LEBIH CEPAT DARI DETEKTOR ISOTOP
Kemampuan itu sebenarnya sudah dimiliki oleh setiap orang, namun sering tidak disadari. Misalnya, pada hubungan batin antara ibu dan anak. Saat si anak sakit, sang ibu bisa merasakan padahal keduanya berada di tempat terpisah yang berjauhan.
Kemampuan itu sebenarnya sudah dimiliki oleh setiap orang, namun sering tidak disadari. Misalnya, pada hubungan batin antara ibu dan anak. Saat si anak sakit, sang ibu bisa merasakan padahal keduanya berada di tempat terpisah yang berjauhan.
Kemampuan
ini disebabkan oleh adanya medan listrik yang menyelubungi tubuh manusia, yang
lebih dikenal sebagai aura atau prana. Karena itu, seluruh bagian tubuh bisa
digunakan untuk mengenali getaran dari benda-benda di sekitar. Kemampuan dasar
ini bisa dilatih agar makin kuat listrik dan kepekaannya. Makin kuat
listriknya, makin luas medannya, maka makin luas pula jangkauannya. Ketebalan
aura bisa dilihat dengan melakukan pemotretan fotografi Kirlian. “Sering
terjadi, anggota Merpati Putih yang menjalani pemotretan ini sinar auranya
memenuhi lembar (kertas) foto,” kata Budi.
Namun,
meski semua orang – asalkan telaten berlatih – bisa mempelajari dan mendapatkan
kemampuan itu, ada orang-orang tertentu yang berbakat bisa memiliki kemampuan
yang lebih besar.
Contoh
hubungan batin ibu-anak itu juga menjelaskan, kemampuan itu tidak terbatasi
oleh ruang dan waktu. Dengan menumpang medan magnet bumi, kemampuan itu bisa
mencapai sasaran yang lebih jauh. Itulah mengapa kemampuan itu bisa digunakan
untuk membantu penyembuhan jarak jauh dengan getaran.
Pembuktian
adanya kemampuan itu pernah dilakukan melalui uji deteksi nuklir atau radiasi
dari isotop yang disembunyikan. Saat itu petugas Batan menggunakan detektor,
sedangkan anggota Merpati Putih mengandalkan getarannya. Sebelum mencarinya,
jenis getaran isotop sudah dipelajari lebih dulu. Mereka memulai pencarian
bersama-sama, namun menurut Budi, anggota Merpati Putih lebih cepat
menemukannya. Sebab, detektor baru menangkap gelombang dalam radius 0,5 m,
sedangkan “ilmu getaran” mampu mengetahuinya dalam jarak 15 m. Padahal saat itu
kedua mata anggota Merpati Putih dalam keadaan tertutup rapat.
“Tapi
keadaan itu justru menguntungkan karena konsentrasinya menjadi kuat. Selain
itu, mengurangi energi yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan, misalnya ke
mata,” papar Budi. Tak cuma untuk mencari isotop, ilmu getaran bisa dipakai
untuk melacak benda apa pun yang tersembunyi. “Maka ilmu ini sangat bermanfaat
untuk mencegah penyelundupan obat terlarang, narkotika, atau benda apa pun,”
akunya.
Uji
coba lain yang pernah dilakukan adalah: anggota Merpati Putih yang sebelumnya
tidak pernah jadi kiper, menepis tendangan penalti. Dari 50 tendangan yang
mengarah ke gawang, hanya empat yang mampu membuahkan gol. Artinya, 92%
tendangan berhasil ditepis si “kiper” yang ditutup kedua matanya. Kiper biasa
akan mengandalkan indera mata untuk menilai gerak-gerik penendang, namun
“kiper” Merpati Putih akan membaca langsung getaran otak si penendang yang
berisi rencana ke mana bola diarahkan. “Maka data yang diperoleh lebih banyak
dan akurat, sehingga ia tidak mudah tertipu oleh gerak-gerik penendang,” ujar
Budi yang berperawakan subur.
JURU FOTO TUNA NETRA
Pada tahun 1987 Budi memperkenalkan “ilmu getaran” ini kepada tunanetra. Mula-mula ia mengajarkannya kepada beberapa tukang pijat tunanetra. Sebelumnya, usai berlatih, setiap orang mendapat ganti rugi ongkos pijat selama satu jam karena waktu yang terbuang. Namun, 2 – 3 bulan kemudian setelah merasakan manfaatnya, mereka tetap berlatih meski tanpa dibayar.
Pada tahun 1987 Budi memperkenalkan “ilmu getaran” ini kepada tunanetra. Mula-mula ia mengajarkannya kepada beberapa tukang pijat tunanetra. Sebelumnya, usai berlatih, setiap orang mendapat ganti rugi ongkos pijat selama satu jam karena waktu yang terbuang. Namun, 2 – 3 bulan kemudian setelah merasakan manfaatnya, mereka tetap berlatih meski tanpa dibayar.
Dari
situlah kemudian terselenggaralah latihan untuk para tunanetra dari 12 kota di
wilayah Jawa dan Bali secara gratis. Ia berusaha mengumpulkan dana untuk
penyelenggaraan itu mengingat sebagian besar tunanetra berasal dari kalangan
ekonomi lemah. Saat ini kegiatan itu dihentikan untuk sementara waktu karena
ketiadaan dana. Yang terselenggara adalah program swasembada yang dinamai The Mission
Impossible. Program ini bertujuan melatih tunanetra agar dapat seperti orang
normal.
Program
untuk tunanetra itu mencakup tiga tahap pelajaran. Tahap pertama orientasi
mobilitas, kedua belajar mendeteksi benda, dan tahap terakhir mendeteksi huruf
serta warna. Masing-masing tahap selesai dalam waktu enam bulan. Maka, setelah
belajar selama 18 bulan peserta dapat menghindari rintangan yang ada di jalan,
membedakan antara benda diam dan benda bergerak, mengenali kecepatan dan jarak,
serta menyatakan ukuran benda tanpa melakukan sentuhan. Selain itu, peserta
juga mampu membaca dan menulis tanpa huruf braille. Bahkan juga membaca teks di
layar komputer, koran, dan lainnya.
Seorang
tunanetra anggota Merpati Putih pernah bikin seorang sopir taksi terheran-heran
karena mampu menunjukkan arah perjalanan. Dari Pulogadung anggota yang
tunanetra itu bermaksud pergi ke Wisma Pertamina di Kemang, Jakarta Selatan,
dengan naik taksi. Ketika mendekati daerah tujuan, si penumpang berkata, “Jalan
ini terus, lalu rumah joglo di depan itu maju sedikit.”
Dalam
Merpati Putih yang telah mendapat hak paten pada April 1998, membedakan warna
dari jarak jauh dengan mata tertutup konon bisa dilakukan. Setiap warna, kata
Budi, memiliki panjang gelombang yang berbeda. Benar bila dikatakan bahwa
perbedaan ditentukan oleh panas, namun panas akan mengejawantah menjadi
getaran. Beda panas berarti pula beda panjang gelombang. Dengan hanya
mengandalkan panas, pembedaan hanya bisa dilakukan dari dekat. Untuk melihat
dari jauh, yang ditangkap adalah panjang gelombangnya.
“Selain
itu perlu kepekaan tinggi karena perbedaan panjang gelombang sinar putih,
hijau, dan biru sangat kecil, hanya sepersekian puluh Angstrom atau sepersekian
miliar meter. Padahal sampai sekarang pun belum ada alat buatan manusia yang
mampu melakukan pekerjaan itu,” jelas Budi. Bayangkan saja, di dalam mobil yang
melaju dengan kecepatan 120 km/jam, seorang tunanetra anggota Merpati Putih
lain mampu menjawab dengan tepat warna apa yang ada di kiri-kanannya.
“Tidak
heran pula, jika anak saya yang buta warna setelah berlatih ilmu ini bisa
diterima kuliah di jurusan arsitektur,” ujar Budi memberi contoh bagaimana
kemampuan itu tak cuma mampu membuat mereka lebih mandiri, namun diharapkan
juga bermanfaat meningkatkan harkat hidup mereka.
Ia
mencontohkan lagi, di Bali sudah ada tunanetra yang jadi pemahat. Bahkan
uniknya lagi, ada yang berprofesi sebagai tukang foto. Saat memotret, menurut
Budi, ia tidak mengintip dari jendela bidik. Kamera bisa ia pegang pada posisi
yang ia suka namun sasarannya selalu tepat. Anehnya lagi, si juru foto yang
tunanetra itu bisa mengatur susunan objek foto, apakah harus maju sedikit,
lebih merapat, atau posisi lainnya.
Bagi
Budi pengalaman menunjukkan, melatih tunanetra lebih mudah dibandingkan orang
biasa. “Tentu karena mereka (tunanetra) sudah terbiasa mengandalkan inderanya
di luar penglihatan, apakah telinga, tangan, atau penciuman.”
Tak
heran bila anggota Merpati Putih yang bukan penyandang tunanetra, sesuai
kurikulum baru akan menguasai “ilmu getaran” dalam waktu tiga tahun, sedangkan
yang tunanetra langsung diajari ilmunya. “Merpati Putih memberi latihan sesuai
kebutuhan. Artinya, yang tunanetra sangat membutuhkan ilmu getaran agar dapat
bergerak normal. Bagi yang normal ilmu getaran hanya penunjang agar bereaksi
lebih cepat dalam bela diri,” papar Budi.
Kemampuan
itu konon bersifat abadi. Bagi yang tunanetra, menurut Budi, kemampuan yang
dimiliki akan terjaga karena dipakai setiap saat. Buat orang biasa, kalaupun
tidak rajin berlatih, kemampuannya tidak akan hilang meski mungkin kualitasnya
menurun atau tidak selancar dibandingkan dengan yang rajin berlatih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar